Sabtu, 26 September 2015

MUSIK: MELUKIS PERISTIWA DENGAN NADA


Oleh: Faika M A Oensoelangi

            Seni Musik adalah bahasa universal. Dia mampu menggambarkan sebuah negeri, partai bahkan semangat zaman yang ada lewat nada maupun lirik musiknya. seperti yang dikemukakan Aristoteles  bahwa seni adalah bentuk yang pengungkapannya dan penampilannya tidak pernah menyimpang dari kenyataan dan seni itu adalah meniru alam. Pendapat Aristoteles jelas menggambarkan bahwa seni(dalam hal ini musik) sangat lekat dengan jiwa dan perasaan, manfestasi dan tujuan. Dengan Musik, seseorang bisa merasakan sedih cukup dengan lantunan nada dan lirik. Dengan musik, orang-orang bisa berkomunikasi. Dengan musik, manusia bisa lebih dekat dengan Tuhannya. Musik adalah milik semuanya. Tidak bisa di monopoli oleh suatu orang maupun kelompok. Musik adalah Idependensi itu sendiri.

            Seiring berjalannya waktu, musik menjadi suatu ‘barang penting’ yang mengambarkan sebuah zaman. Sebuah zeitgeist bisa dilihat dari jenis musik yang berkembang. Tahun 1950, Beat Generation menyanyikan ragam musik seperti yang sering dinyanyikan Andy William atau Matt Monroe . Musiknya kadang cenderung orkestra, menyanyikan sesuatu dengan suara berat khas pria, biasanya bertama tentang cinta. Lalu di tahun yang masih sama, Buddy Guy dan musisi kulit hitam lainnya mulai berbicara mengenai status sosial. Memulai naiknya era musik Blues. Dengan musik jenis ini, para musisi kulit hitam menceritakan kondisi sosial mereka yang serba ‘kelas dua’. Musik blues ini lah yang nantinya dizaman yang sama melahirkan Rock N Roll dengan rajanya yaitu Elvis Presley. Elvis dengan pembawaannya yang serba muda, liar anti kemapanan dan pemberontakan. Musik 1950an menggambarkan kondisi sosial U.S.A begitu cermat. Permasalah sosial, pemberontakan kaum remaja atas nilai-nilai kolot, dan Rock N Roll.
            Di tahun 1960an, terutama dikala perang Vietnam dan Cold War  antara U.S.A dan U.S.S.R mulai bergejolak. Musik mulai menemukan racikan baru, bercirikan pesan perdamaian, judul dan lirik yang provokatif dan lebih rumit dari angkatan 1950. Hal ini bisa dilihat dari lagu-lagu the Beatles misalnya. Paul McCartney mengajak kita semua untuk mendukung Uni Soviet dalam lagunya yang berjudul Back In The U.S.S.R. bagi Paul, Amerika(kapitalis liberal) adalah penyebab perang, pertentangan kelas. Bagi Paul kita lebih baik berkiblat ke Uni Soviet, yang semuanya dipandang sama, sama rata, sama rasa. Bahkan, Paul menggelitik dengan lirik “the ukraine girl realy knock me out and left the west behind, and Moscow gril  make me twist and shout,” intinya, lebih baik ke Soviet, mereka punya wanita yang lebih cantik dan seksi. John Lennon berusaha berbicara perdamaian dengan lagu All You need is Love dan Revolution. “you can’t count me out” adalah pernyataan tegas dari John dalam lagu Revolution. Rolling Stone bahkan menuliskan bahwa Jesus bukan lagi juru selamat. Baginya, iblis lebih baik karena tidak membawa ke jalan perang. Sympathy for the Devil jelas melukiskan. Bob dylan pula demikian. Driskiminasi, perang yang tak kunjung henti ia ceritakan dengan sinis, “how many ears must a man have, before he can hear people cry?” adalah sebuah pertanyaan skeptis pada dunia yang selanjutnya ia jawab sendiri dengan “the answer my friend is blowin in the wind.”. masa-masa muak akan perang, diskriminasi kulit itulah gambaran masa pada 1960 dan para musisi menggambarkanya dengan apik, lugas dan agak sinis.
            Kembali pada tema musik sebagai sebuah gambaran Zaman. Explanasi diatas cukup menggambarkan. Mungkin ini sama halnya dengan Iwan Fals yang berusaha menyanyikan lagu rakyat kecil di masa Soeharto dan Orbanya yang serba totalitter.Surat untuk DPR, Bento, Oemar Bakrie dan tentu saja Bongkar! Adalah sebahagian dari “perwakilan musik” pada zaman itu. Mahasiswa sudah muak dengan pak harto, militer dan segala terkekangan “kalau cinta sudah buang! Jangan harap keadilan akan datang.” Sebuah lirik bongkar yang begitu sinis dan kejam, tapi apik dalam mencerikatan zaman.
            Bagaimana dengan zaman sekarang? dimana musik mulai masuk dalam sistem industri yang kapitalis? Musisi dipakasa berkarya untuk untung semata, bukan lagi atas asas ideologi(meski sebahagian dalam hatinya adalah bahwa ideologisku ialah uang dan keuntungan)? Kita yang lebih tau. Zaman ini belum selesai karena kita adalah pelakunya. Biarkan cucu kita yang melukiskan. Namun, jika anak cucu kita ingin melihat kita, lihat musiknya dan bagaimana musiknya lahir.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar