Oleh: Faika M A Oensoelangi
Seni Musik adalah bahasa universal. Dia
mampu menggambarkan sebuah negeri, partai bahkan semangat zaman yang ada lewat
nada maupun lirik musiknya. seperti yang dikemukakan Aristoteles bahwa seni adalah bentuk yang pengungkapannya dan
penampilannya tidak pernah menyimpang dari kenyataan dan seni itu adalah meniru
alam. Pendapat Aristoteles jelas menggambarkan bahwa seni(dalam hal ini musik)
sangat lekat dengan jiwa dan perasaan, manfestasi dan tujuan. Dengan Musik,
seseorang bisa merasakan sedih cukup dengan lantunan nada dan lirik. Dengan
musik, orang-orang bisa berkomunikasi. Dengan musik, manusia bisa lebih dekat
dengan Tuhannya. Musik adalah milik semuanya. Tidak bisa di monopoli oleh suatu
orang maupun kelompok. Musik adalah Idependensi itu sendiri.
Seiring
berjalannya waktu, musik menjadi suatu ‘barang penting’ yang mengambarkan
sebuah zaman. Sebuah zeitgeist bisa dilihat dari jenis musik yang
berkembang. Tahun 1950, Beat Generation menyanyikan ragam musik seperti yang
sering dinyanyikan Andy William atau Matt Monroe . Musiknya kadang cenderung
orkestra, menyanyikan sesuatu dengan suara berat khas pria, biasanya bertama
tentang cinta. Lalu di tahun yang masih sama, Buddy Guy dan musisi kulit hitam
lainnya mulai berbicara mengenai status sosial. Memulai naiknya era musik
Blues. Dengan musik jenis ini, para musisi kulit hitam menceritakan kondisi
sosial mereka yang serba ‘kelas dua’. Musik blues ini lah yang nantinya dizaman
yang sama melahirkan Rock N Roll dengan rajanya yaitu Elvis Presley. Elvis
dengan pembawaannya yang serba muda, liar anti kemapanan dan pemberontakan. Musik
1950an menggambarkan kondisi sosial U.S.A begitu cermat. Permasalah sosial,
pemberontakan kaum remaja atas nilai-nilai kolot, dan Rock N Roll.
Di
tahun 1960an, terutama dikala perang Vietnam dan Cold War antara U.S.A dan U.S.S.R mulai bergejolak. Musik
mulai menemukan racikan baru, bercirikan pesan perdamaian, judul dan lirik yang
provokatif dan lebih rumit dari angkatan 1950. Hal ini bisa dilihat dari
lagu-lagu the Beatles misalnya. Paul McCartney mengajak kita semua untuk
mendukung Uni Soviet dalam lagunya yang berjudul Back In The U.S.S.R. bagi
Paul, Amerika(kapitalis liberal) adalah penyebab perang, pertentangan kelas. Bagi
Paul kita lebih baik berkiblat ke Uni Soviet, yang semuanya dipandang sama, sama
rata, sama rasa. Bahkan, Paul menggelitik dengan lirik “the ukraine girl
realy knock me out and left the west behind, and Moscow gril make me twist and shout,” intinya, lebih
baik ke Soviet, mereka punya wanita yang lebih cantik dan seksi. John Lennon
berusaha berbicara perdamaian dengan lagu All You need is Love dan Revolution. “you
can’t count me out” adalah pernyataan tegas dari John dalam lagu Revolution.
Rolling Stone bahkan menuliskan bahwa Jesus bukan lagi juru selamat. Baginya,
iblis lebih baik karena tidak membawa ke jalan perang. Sympathy for the Devil
jelas melukiskan. Bob dylan pula demikian. Driskiminasi, perang yang tak
kunjung henti ia ceritakan dengan sinis, “how many ears must a man have,
before he can hear people cry?” adalah sebuah pertanyaan skeptis pada dunia
yang selanjutnya ia jawab sendiri dengan “the answer my friend is blowin in
the wind.”. masa-masa muak akan perang, diskriminasi kulit itulah gambaran
masa pada 1960 dan para musisi menggambarkanya dengan apik, lugas dan agak
sinis.
Kembali
pada tema musik sebagai sebuah gambaran Zaman. Explanasi diatas cukup
menggambarkan. Mungkin ini sama halnya dengan Iwan Fals yang berusaha
menyanyikan lagu rakyat kecil di masa Soeharto dan Orbanya yang serba
totalitter.Surat untuk DPR, Bento, Oemar Bakrie dan tentu saja Bongkar! Adalah sebahagian
dari “perwakilan musik” pada zaman itu. Mahasiswa sudah muak dengan pak harto,
militer dan segala terkekangan “kalau cinta sudah buang! Jangan harap keadilan
akan datang.” Sebuah lirik bongkar yang begitu sinis dan kejam, tapi apik dalam
mencerikatan zaman.
Bagaimana
dengan zaman sekarang? dimana musik mulai masuk dalam sistem industri yang
kapitalis? Musisi dipakasa berkarya untuk untung semata, bukan lagi atas asas
ideologi(meski sebahagian dalam hatinya adalah bahwa ideologisku ialah uang dan
keuntungan)? Kita yang lebih tau. Zaman ini belum selesai karena kita adalah
pelakunya. Biarkan cucu kita yang melukiskan. Namun, jika anak cucu kita ingin
melihat kita, lihat musiknya dan bagaimana musiknya lahir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar