Rabu, 23 Desember 2015

Wanita: Senyummu meruntuhkan mahkota

Wanita: Senyummu meruntuhkan mahkota
(Untuk seluruh perempuan luar biasa di Indonesia
Dan untuk Ibuku yang luar biasa.)

Oleh Faika Muhammad Aulia Unsulangi

Baru kemarin, lebih tepatnya 22 desember. Kita merayakan hari perempuan Indonesia. Namun, pada perjalanannya, perayaan itu bertambah makna(atau mungkin beralih) menjadi merayakan hari Ibu. Saya pikir tidak ada yang salah dengan perayaan tersebut, merayakan hari ibu maupun hari perempuan. Namun, pada akhirnya, kita harus tau apa dan bagaimana hari atau perayaan itu terjadi. karena yang terpenting itu adalah substansi bukan sekedar sekedar selebrasi.
Pada 22 desember Kongres Perempuan Indonesia ke-1  diselenggarakan di Yogyakarta, Hindia Belanda (sekarang Indonesia) kongres ini dilaksanakan lebih tepatnya pada tanggal 22 hingga 25 Desember 1928. Kongres yang diikuti oleh 30 organisasi perempuan dari 12 kota di Jawa dan Sumatera ini bertujuan memperjuangkan hak-hak perempuan, terutama dalam bidang pendidikan dan pernikahan. Soekarno, selaku presiden menyatakan bahwa pada tanggal tersebut, yaitu 22 desember dirayakan sebagai bentuk penghormatan kepada para perempuan, kaum ibu atas perjuangannya untuk kemerdekaan Indonesia. Sebenarnya, ini juga karena diprotesnya hari kartini pada 21 April. Ini disebabkan kartini dianggap lebih proBelanda. Sehingga Soekarno mentapkan 22 desember sebagai hari  Perempuan atau hari Ibu. Jelas perayaan ini berbeda dengan di luar negeri, lebih tepatnya negeri barat (USA, erpoa dll) yang merayakan hari ibu pada minggu kedua bulan Mei. Jadi, tidak ada kaitannya antara 22 desember dengan hari ibu barat. Hanya sebuah kesamaan tema.
Saya sendiri tidak tau menau bagaimana perjalanan detail dan sejarahnya kongres perempuan itu. Keterbatasan sumber menjadi salah satu alasannya. Namun, terlepas dari itu, mari kita renungkan arti Perempuan, Wanita atau apapun itu, dan tentu saja arti Ibu. Bukan soal definisi tapi soal keberadaannya di Bumi Tuhan (Allah dalam Islam). Perannya dalam peradaban.

Seindah mawar, Semungil melati
Ismail marzuki, dalam lagu wanita(yang di remix oleh Afgan) melukiskan sosok wanita. Bagi Ismail marzuki, wanita itu seindah mawar, semungil melati. Lalu dilanjutkan dengan bait “gerak gayamu ringan memikat hati muda taruna, mekar bersinar menyilaukan mata”. Bahkan di akhir lirik Ismail Marzuki menulis “senyummu meruntuhkan mahkota”. Bagi saya, apa yang dilukiskan salah satu maestro musik Indonesia itu tidak salah, bahkan sangat setuju. Wanita/perempuan adalah mahluk yang halus, lembut dan (terkadang) dianggap perasa. Tentu bukan berarti lemah. Bagi saya, wanitalah penggerak peradaban dengan kelembutannya. Bukan sekali saja sebuah pergerakan dimulai oleh wanita. Kasus kecil adalah Rosa Luxemburg, wanita German yang memulai revolusi komunis german pada 1917. Atau Dewi sartika. Tokoh sunda yang luar biasa. Tentu kalau dijabarkan perempuan punya banyak tokoh yang saya tak bisa sebut satu persatu.
Peran perempuan sangat penting, dia adalah penyeibang para pria. Kadang pria dengan logikanya terlalu keras dan radikal. Wanita dengan kelembutannya mencoba menyeimbangkannya. Lelaki mungkin boleh sesumbar dengan kekuatan fisiknya, tapi percayalah, perempuan punya sebuah kekuatan diatas para lelaki, sebuah sentuhan kelembutan dan senyum tulus yang menyejukan. Disanalah letak kekuatan wanita, senyum, akhlak dan pemikiran. Sekuat apapun pria, kelemahannya hanya satu, wanita. Peran yang lebih gila lagi tentu saja melahirkan. Saya pernah ditanya, jika seandainya pria mengemban tugas itu, apa kuat? Pertanyaan itu sempat saya jawab dengan jawaban tidak.mendegar cerita melahirkan saja sudah ngeri. Tanpa sosok perempuan, tidak akan ada peradaban, simplenya no woman no human, no human no civlitation. Jadi? Jawab saja sendiri.  22 desember sendiri hanya momentum, tak lebih dari itu. Sekedar selebrasi yang intinya, satu hari kita dedikasikan pada kaum Hawa. Tapi sebenarnya every day is motherday, everyday is women day. Jangan lupa bahwa everyday is  father day juga hehehe.

Semoga saja tulisan ini menjadi media berpikir. Saya tau sangat jelek tulisan ini. Saya harap bimbingan dan tentu saja penilaian. Terlepas dari itu. Semoga bermafaat.
Terimakasih :D


Sabtu, 26 September 2015

MUSIK: MELUKIS PERISTIWA DENGAN NADA


Oleh: Faika M A Oensoelangi

            Seni Musik adalah bahasa universal. Dia mampu menggambarkan sebuah negeri, partai bahkan semangat zaman yang ada lewat nada maupun lirik musiknya. seperti yang dikemukakan Aristoteles  bahwa seni adalah bentuk yang pengungkapannya dan penampilannya tidak pernah menyimpang dari kenyataan dan seni itu adalah meniru alam. Pendapat Aristoteles jelas menggambarkan bahwa seni(dalam hal ini musik) sangat lekat dengan jiwa dan perasaan, manfestasi dan tujuan. Dengan Musik, seseorang bisa merasakan sedih cukup dengan lantunan nada dan lirik. Dengan musik, orang-orang bisa berkomunikasi. Dengan musik, manusia bisa lebih dekat dengan Tuhannya. Musik adalah milik semuanya. Tidak bisa di monopoli oleh suatu orang maupun kelompok. Musik adalah Idependensi itu sendiri.

            Seiring berjalannya waktu, musik menjadi suatu ‘barang penting’ yang mengambarkan sebuah zaman. Sebuah zeitgeist bisa dilihat dari jenis musik yang berkembang. Tahun 1950, Beat Generation menyanyikan ragam musik seperti yang sering dinyanyikan Andy William atau Matt Monroe . Musiknya kadang cenderung orkestra, menyanyikan sesuatu dengan suara berat khas pria, biasanya bertama tentang cinta. Lalu di tahun yang masih sama, Buddy Guy dan musisi kulit hitam lainnya mulai berbicara mengenai status sosial. Memulai naiknya era musik Blues. Dengan musik jenis ini, para musisi kulit hitam menceritakan kondisi sosial mereka yang serba ‘kelas dua’. Musik blues ini lah yang nantinya dizaman yang sama melahirkan Rock N Roll dengan rajanya yaitu Elvis Presley. Elvis dengan pembawaannya yang serba muda, liar anti kemapanan dan pemberontakan. Musik 1950an menggambarkan kondisi sosial U.S.A begitu cermat. Permasalah sosial, pemberontakan kaum remaja atas nilai-nilai kolot, dan Rock N Roll.
            Di tahun 1960an, terutama dikala perang Vietnam dan Cold War  antara U.S.A dan U.S.S.R mulai bergejolak. Musik mulai menemukan racikan baru, bercirikan pesan perdamaian, judul dan lirik yang provokatif dan lebih rumit dari angkatan 1950. Hal ini bisa dilihat dari lagu-lagu the Beatles misalnya. Paul McCartney mengajak kita semua untuk mendukung Uni Soviet dalam lagunya yang berjudul Back In The U.S.S.R. bagi Paul, Amerika(kapitalis liberal) adalah penyebab perang, pertentangan kelas. Bagi Paul kita lebih baik berkiblat ke Uni Soviet, yang semuanya dipandang sama, sama rata, sama rasa. Bahkan, Paul menggelitik dengan lirik “the ukraine girl realy knock me out and left the west behind, and Moscow gril  make me twist and shout,” intinya, lebih baik ke Soviet, mereka punya wanita yang lebih cantik dan seksi. John Lennon berusaha berbicara perdamaian dengan lagu All You need is Love dan Revolution. “you can’t count me out” adalah pernyataan tegas dari John dalam lagu Revolution. Rolling Stone bahkan menuliskan bahwa Jesus bukan lagi juru selamat. Baginya, iblis lebih baik karena tidak membawa ke jalan perang. Sympathy for the Devil jelas melukiskan. Bob dylan pula demikian. Driskiminasi, perang yang tak kunjung henti ia ceritakan dengan sinis, “how many ears must a man have, before he can hear people cry?” adalah sebuah pertanyaan skeptis pada dunia yang selanjutnya ia jawab sendiri dengan “the answer my friend is blowin in the wind.”. masa-masa muak akan perang, diskriminasi kulit itulah gambaran masa pada 1960 dan para musisi menggambarkanya dengan apik, lugas dan agak sinis.
            Kembali pada tema musik sebagai sebuah gambaran Zaman. Explanasi diatas cukup menggambarkan. Mungkin ini sama halnya dengan Iwan Fals yang berusaha menyanyikan lagu rakyat kecil di masa Soeharto dan Orbanya yang serba totalitter.Surat untuk DPR, Bento, Oemar Bakrie dan tentu saja Bongkar! Adalah sebahagian dari “perwakilan musik” pada zaman itu. Mahasiswa sudah muak dengan pak harto, militer dan segala terkekangan “kalau cinta sudah buang! Jangan harap keadilan akan datang.” Sebuah lirik bongkar yang begitu sinis dan kejam, tapi apik dalam mencerikatan zaman.
            Bagaimana dengan zaman sekarang? dimana musik mulai masuk dalam sistem industri yang kapitalis? Musisi dipakasa berkarya untuk untung semata, bukan lagi atas asas ideologi(meski sebahagian dalam hatinya adalah bahwa ideologisku ialah uang dan keuntungan)? Kita yang lebih tau. Zaman ini belum selesai karena kita adalah pelakunya. Biarkan cucu kita yang melukiskan. Namun, jika anak cucu kita ingin melihat kita, lihat musiknya dan bagaimana musiknya lahir.





Selasa, 24 Maret 2015

aku hanya sedang merindukanmu dengan cara yang begitu sederhana.

Dunia tak pernah sesempit ini. Ruangan-ruangan yang kosong, jalanan yang lenggang menambah bukti betapa leganya dunia ini. Tapi, semua menjadi masalah ketika kamu, lagi-lagi hadir untuk kembali ‘menggangu’ dengan apa yang seharusnya aku tidak pikirkan, apa yang seharusnya aku tidak terlalu khawatirkan, namun yang menjadi masalah bahwa aku tidak bisa tidak memikirkan, tidak bisa tidak mengkhawatirkan sebuah subyek yang disebut kamu.

Kamu! kalau boleh aku ulang.

Kamu itu siapa? Apakah kamu yang setiap hari, dulu meminta melakukan first bump? Atau kamu yang dulu berdiskusi mengenai ‘dunia’ yang orang sekitar tidak pahami?, atau membicarakan kembali kota dimana kita berdua dididik, ditempa dan akhirnya diterima di sini?itukah Kamu?
Mungkin, oh bukan! memang iya itulah kamu. Sesosok wanita yang selalu aku rindu, bahkan dalam malam-malam yang membisu.

Maaf, terkadang kamu membuat subyek yang disebut aku akhirnya kembali merasakan rasa ingin berjumpa, bukan merindukan. ini nampaknya terlalu tinggi dari pada kata rindu. Mungkin aku cari dulu di KBBI apa itu yang lebih dari sekedar rindu.

Karena rindu hanya sekadar berjumpa lantas pergi. Aku merasa tidak demikian.

Ah aku ingat dulu aku pernah menulis begini:
ada Cinta yang Sehat dalam Tubuh Yang sehat,
ada Cinta yang Sehat dalam Tubuh Yang sakit
ada Cinta yang Sakit dalam Tubuh Yang sehat
ada Cinta yang sakit dalam Tubuh Yang sakit.

Dimanakah aku sekarang? nampaknya antara cinta yang sakit dan sehat sendiri adalah sebuah kebingunan. Ini adalah filsafatku yang gagal.

Oke puisi, bukan filsafat.

Diakhir kata selamat malam untukmu, aku hanya sedang merindukanmu dengan cara yang begitu sederhana, seperti apa yang disampaikan seorang pemberontak kepada seorang gadis dari kota seberang yang menjadikannya bungkam.
:D :3



Minggu, 22 Maret 2015

Tari Kartili: Antara Minahasa dan Orang Spanyol dari Eropa

Oleh: Faika Muhammad Aulia
Tidak mampu disangkal lagi. Bahwasanya, Indonesia dulu adalah negeri yang ramai dengan perdagangan. Setelah Kosntantinopel, ibu kota Romawi Timur/Byzantium sebagai penghubung dari perdagangan antara negeri-negeri di Eropa dan Asia jatuh ketangan Sultan Al-Fatih dari Ottoman Turki pada tahun 1453, bangsa Eropa, khusunya Portugis, mencari “the new world”.  Mereka berlayar ke negeri yang ada di sekitaran Asia guna berdagang, mencari rempah-rempah hingga akhirnya terjadi kolonialisasi.
Minahasa, lebih tepatnya Sulawesi Utara, tak luput dari pelayaran bangsa barat. Banyaknya hasil-hasil bumi yang laku dijual di Eropa membuat Spanyol singgah cukup lama disana. Menilik dari sejarah, dimana selalu diceritakan rakyat ditindas oleh para kolonialis eropa, dalam hal ini Spanyol di Minahasa, ternyata ada satu produk kebudayaan yang mereka hasilkan yaitu Tari Kartili.
Menurut J.J. Hoenigman, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga: gagasan, aktivitas, dan artefak. Dalam tujuh sistem kebudayaan menurut Koentjaraningrat yang di ambil dari Kluckhohn, bahwa ada 7 unsur kebudayaan secara universal. Satu diantaranya ialah Seni. Seni sendiri, salah satu bentuknya ialah Seni yang dinikmati dengan media penglihatan (Visual art)) misalnya lukisan, poster,seni bangunan, seni gerak, beladiri dan sebagainya. Dimana tari adalah salah satunya. Maka menurut pengertian diatas, bahwa Tari Kartili adalah bagian dari kebudayaan. Wujudnya adalah Aktivitas, unsurnya adalah seni, lebih tepatnya seni yang dinikmati dari segi visual art (pengelihatan).

Asal dari seni tari Kartili sendiri adalah akulturasi dari Spanyol dan Minahasa. Diceritakan ketika bangsa dari bekas negeri Al-Andalus ini datang ke tanah Minahasa untuk mencari rempah dan kemudia dijual ke Eropa. Setibanya di Minahasa (Sulawesi Utara atau dulu Celebes)  mereka mendapat hasil yang banyak. Karena senang, mereka, orang-orang Spanyol melakukan tarian. Rakyat pribumi lama-lama merasa terhibur dengan tarian tersebut dan menonton tarian yang dilakukan secara spontan itu. Masyarakat Minahasa akhirnya mengikuti tarian yang disebut Kartili. Sekembalinya Bangsa Spanyol kenegiri asalnya (tentu dengan membawa hasil bumi yang dibeli di Minahasa), tarian ini sudah mulai digemari Rakyat Minahasa pada umumnya. Tari katrili termasuk tari modern yang sifatnya kerakyatan. Tari Kartili biasa dilakukan saat pesta, dan di perkawinan.   

Kamis, 01 Januari 2015

negeriku....ku puja sepanjang masa

Tanah airku Indonesia 
Negeri elok amat kucinta
Tanah tumpah darahku yang mulia
 Yang kupuja sepanjang masa
-rayuan pulau kelapa by ismail marzuki-

masih ingatkah teman-teman mengenai lagu ismail marzuki itu? sebuah lagu yang indah dan kabarnya menjadi lagu favourite bagi mereka orang indonesia yang tinggal di negeri orang lain. ya inilah Tanah Airku Indonesia, bukan Jepang, Korea apalagi Belanda, tanah airku hanya satu, Indonesia. 

Negeri ini di penghujung tahun 2014 sedang dirudung duka. pesawat AirAsia tipe QZ8501 jatuh di perairan indonesia. di saat yang sama, orang-orang di papua dan daerah terdepan lainnya belum merasakan apa yang bisa dirasakan oleh orang di kota. masih ada pelajar tidak mampu secara biaya yang akhirnya harus merelakan gelar/statusnya karena kendala uang. oh Tuhan, Negara cantik ini sedang sakit. bukan hanya flu yang bisa diredam oleh Decolgen atau obat lainnya. tapi sebuah penyakit yang lebih mematikan, bahkan di stadium rendah sekalipun. anggap saja jatuhnya AirAsia tipe QZ8501 adalah murni kecelakaan, tanpa campur tangan manusia, semua murni kehendak Tuhan. lantas bagaimana dengan yang lain? sudah sembuhkan penyakit apatis yang akan merongrong cara pikir seseorang menjadi tumpul dan tidak peduli. atau sudah meredakah perebutan kekuasaan yang hanya menjadi ajang "pertandingan tinju" bagi mereka, yang berdasi dan hanya mementingkan sebagian dan diri sendiri, mencelakai demokrasi? atau sudah ditemukan kemanakah hilangnya mereka yang dulu bersuara menentang rezim berbedil? atau sudah sembuhkah, ok mungkin membaik dalam hal menyembuhkan kanker bernama KORUPSI? yang sudah menjadi budaya di negeri indah ini? dan sudah sembuhkah mereka dari tidak peduli atas "dari mana kita berasal ?"?. Tuhan, negeri ini sakit.

Namun, terlepas dari semua itu, kita juga harus tetap menyimpan harapan dan berdoa semoga negeri ini kembali sehat ke sedia kala. Pak Joko Widodo sudah dilantik menjadi presiden. mengemban amanah yang pernah di jabat oleh 6 orang "luar biasa" sebelumnya. masih banyak harapan kita. anak muda yang berprestasi di bidangnya masing-masing, orang-orang yang peduli, suara-suara sumbang yang sebenarnya merdu dan tentu saja, semangat melanjutkan perjuangan dan amanah pahlawan - pahlawan kita, yang ada maupun yang tidak ada di buku sejarah sekolah. dan mari bersama mengeluarkan semua kemampuan kita untuk indonesia yang hebat dan merah putih yang berkibar indah.

kemana lagi kaki ini melangkah pulang?
jika bukan negeri di bawah angin yang aku cinta.
aku, kita, kami bergerak, menulis, mengepalkan tangan dan berpikir 
 untukmu negeri elok yang kami cinta sampai maut berjumpa

kami bukanlah sekumpulan babi-babi pengecut!
kami adalah pejuang pena! melawan sekumpulan bedil dan senjata
kami akan menjadi pencerita pada anak cucu kita
jika kau tak peduli pada nusantara, ku sarankan padamu
pulanglah dan minum susu

Ngamprah 31-12-14
Faika